Jumat, 06 Oktober 2017

Mangaradja Hezekiel Manullang

Mangaradja Hezekiel Manullang, Pejuang Pers dan Kemerdekaan.

Digelari Tuan Manullang, seorang jurnalis, cendekiawan dan pendeta pejuang pers nasional dan pahlawan perintis kemerdekaan. Menimba ilmu hingga ke negeri singa, dan saat berusia 19 tahun telah menerbitkan koran Binsar Sinondang Batak (1906). Juga mendirikan organisasi sosial politik Hatopan Kristen Batak (HKB) setelah bergaul dengan para pendiri Syarikat Islam. Di bawah bendera HKB, ia menerbitkan surat kabar Soara Batak (1919-1930) untuk menentang penindasan penjajah Belanda lewat pena. Akibat tulisannya, ia dipenjara di Cipinang.
Mangihut Mangaradja Hezekiel Manullang digelari Tuan Manullang oleh gubernur jenderal kolonial Belanda karena penampilannya yang menyerupai bangsawan Eropa dan bertutur dalam bahasa Inggris. Pernah menjadi guru dan pensiun dengan pangkat bupati serta terakhir menjadi pendeta yang merintis kemandirian gereja serta ikut mendirikan Huria Kristen Indonesia (HKI).
Tidak banyak yang tahu siapa sosok bernama Mangaradja Hezekiel Manullang. Jurnalis dan pendeta yang Pahlawan Perintis Kemerdekaan Bangsa Indonesia & Pelopor Semangat Kemandirian Gereja di Tanah Batak ini bahkan nyaris tidak dikenali oleh generasi suku Batak kontemporer saat ini.
Jangankan mencari informasi tentangnya di internet, dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, nama MH Manullang terselip entah ke mana. Mungkin ini disebabkan orientasi buku sejarah yang lebih mengedepankan pahlawan-pahlawan Revolusi Kemerdekaan yang berada di Pulau Jawa. Padahal sama seperti perjuangan Sultan Hasanuddin (1970) Makassar, Pattimura (1817) Ambon, Diponegoro (1830) Jawa, Imam Bonjol (1864) Minangkabau, Tjik Di Tiro (1891) Aceh, perjuangan MH Manullang memimpin anak bangsa melawan penjajahan Belanda menoreh tinta emas dalam sejarah Indonesia.
Namun untunglah, setidaknya ada tiga buku yang mengulas lengkap sosok yang belakangan menjadi pendeta ini. Buku yang pertama ditulis oleh Lance Castles berjudul The Political Life of A Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940. Buku ini merupakan hasil penelitian Castles yang dituangkan dalam disertasi untuk menggapai gelar doktor dalam bidang ilmu politik di Yale University tahun 1972. Dalam dua bab penuh (Bab V dan Bab VI), Castles mengupas perjuangan MH Manullang – yang dijuluki Castles ‘Soekarno Orang Batak’ – dan organisasi perjuangan politik Hatopan Kristen Batak (KHB) yang dipimpinnya.
Buku yang kedua ditulis oleh Pdt. Dr. J.R. Hutauruk berjudul Kemandirian Gereja. Buku yang merupakan disertasi doktoral (di Jerman) Hutauruk ini lebih spesifik membahas tentang upaya MH Manullang memperjuangkan kemandirian gereja Batak.
Sedangkan buku ketiga, yang diluncurkan bertepatan dengan Satu Abad Kebangkitan Nasional, 28 Mei 2008, merupakan perpaduan dari kedua buku itu ditambah berbagai referensi yang belum pernah diterbitkan. Buku yang termasuk dalam Seri Sejarah Penginjilan di Tanah Batak ini ditulis oleh Dr.P.T.D. Sihombing, M.Sc., S.Pd, yang punya segudang pengalaman di dunia penelitian khususnya sejarah penginjilan di tanah Batak.
Berdasarkan uraian dari berbagai sumber termasuk tiga buku itu, kehidupan MH Manullang yang juga disebut Tuan Manullang digambarkan cukup berliku namun diselingi dengan berbagai kesempatan berharga yang menjadikannya pribadi yang diperhitungkan oleh penjajah Belanda. Darah perjuangan membela mereka yang tertindas, menetes dari ayah-ibunya, Singal Daniel Manullang, dan Chaterine Aratua boru Sihite. Sebagai anak sulung, lahir 20 Desember 1887 di Tarutung, MH Manullang turut menyaksikan dan merasakan perjuangan ayahnya sebagai intelijen pasukan Raja Sisingamangaraja XII melawan penjajah Belanda.
Setelah menyelesaikan studi di Sekolah Raja di Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara, tahun 1906, di usianya ke-19 tahun, ia menerbitkan Koran Binsar Sinondang Batak (BSB). Lewat surat kabar berbahasa Batak itu, MH Manullang mengawali gerakan membuka mata warganya agar memperjuangkan nasibnya. Ia juga mulai mengkritik tindakan pemerintah kolonial Belanda, yang menyakiti jiwa masyarakat dengan rodi-stelsel.
Pemerintah kolonial di Tapanuli menilai kehadiran “Binsar Sinodang Batak” merugikannya. Mereka menyerukan agar rakyat tidak berlangganan dan membacanya. Bahkan MH Manullang direncanakan akan ditangkap jika terus melakukan provokasi. BSB-pun akhimya berhenti terbit.
Kuatnya tekanan pemerintah kolonial dan petinggi misi Zending, dengan bijak ia sikapi dengan ‘menyingkir’ ke Singapura tahun 1907. Sambil mengecap pendidikan di Senior Cambridge School, MH Manullang memperluas cakrawala pemikirannya sekaligus memberikan semangat baru akan nasib bangsanya.
Sekembalinya di tanah air pada tahun 1910, ia dengan sukarela direkrut misi Methodist yang dinilainya lebih demokratis, diangkat menjadi guru, dan sempat membuka beberapa sekolah rakyat Misi di Jawa Barat (Cibinong, Cileungsi, Jonggol, Cikeumeuh dan Cisarua) dan Batavia (Jakarta)-pinggiran dari tahun 1910 hingga 1916. Pada waktu itu, ia sudah berpandangan, “Pendidikan untuk semua anak bangsa; semua anak pribumi harus dipintarkan”.
Kehidupan bermasyarakat dan berpolitik yang ia lalui selama tujuh tahun (1910-1917) di Pulau Jawa, membuat MH Manullang cukup matang untuk berjuang melawan kekejaman pemerintah kolonial dan gaya otoriterisme petinggi Zending. Pergaulannya dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam, H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan Abdul Muis telah memberikan manifest baru dalam perjuangan. Dukungan mereka menebalkan tekad MH Manullang untuk meninggalkan sekolah Methodist, kembali ke Tarutung, Tapanuli, daerah asalnya.
Model organisasi Syarikat Islam jualah yang mengilhami MH Manullang mendirikan Hatopan Kristen Batak (Hatopan bisa diartikan Syarikat) pada tahun 1918 di Tapanuli Utara. Dengan tema Hamajuon bangso Batak dan Patanakkohon hakristenon (mewujudnyatakan kekristenan), organisasi ini segera mendapat sambutan luas. Atas dukungan teman-temannya, Guru Polin Siahaan, Sutan Sumurung Lumbantobing, dan lain-lainnya, serta tokoh-tokoh Sarikat Tapanuli, HKB berkembang pesat sebagai komunitas yang gigih memperjuangkan perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama.
MH Manullang bersama dengan pemimpin gereja setempat mengadakan pertemuan, rapat-rapat besar, kongres untuk mendesak perbaikan kehidupan dan hubungan yang harmonis antar masyarakat setempat dengan pemerintah Belanda. Di sisi lain, HKB banyak dihujat oleh pemerintah kolonial Belanda dan petinggi Zending Jerman, yang menuduh MH Manullang sudah ‘menjual’ imannya kepada pemeluk agama lain. Mereka yang menghujat tidak menyadari, bahwa Hatopan Kristen Batak menjadi poros para nasionalis Indonesia yang karismatis.
Perjuangan MH menentang penjajah semakin intens setelah Pemerintah Belanda, melalui perantaraan kesultanan-kesultanan ciptaannya di daerah Sumatra Timur, membagi-bagi tanah pribumi kepada perkebunan besar tanpa menghiraukan hak rakyat. Tanah dinyatakan milik “kesultanan” yang kemudian disewakan kepada Belanda. Pemerintah kolonial itu lalu memberikan konsesi kepada pemodal perkebunan untuk mengolahnya. Rakyat yang ingin menggarap tanah harus menyewa kepada Pemilik Afdeling. Penguasaan atas tanah ini menyengsarakan rakyat. Padahal, dari tanahlah sumber kehidupan rakyat diperoleh. Akal-akalan itulah yang ditentang oleh MH Manullang. Dia menyadarkan, menghimpun dan menyuarakan tuntutan masyarakatnya dengan menerbitkan surat kabar Soeara Batak pada tahun 1919.
Sebagai pemimpin redaksi sekaligus editor, ia menyuarakan semangat anti kolonialisme yang dapat dilihat pada tulisan berikut: “Saudara-saudara kita jang menjadi koeli selamanja hidoep sebagai kerbau pedati dan kerbau badjak, kena hantam poekoel, tjatji maki dan berbagai siksaan kaoem planters (toean-toean keboen) sedjak dari ketjil sampai chef-nja semoea memandang sebagai perkakas jang tidak berperasaan boleh dipengapakan sadja” (H. Mohammad Said:1978).
Gaya tulisan MH Manullang memang bisa dibilang provokatif untuk ukuran masa itu. Ketika Soeara Batak pertama kali terbit, surat kabar ini juga sudah langsung menyatakan solidaritasnya dan menyindir pedas penangkapan dan penahanan terhadap Parada Harahap. Sebagaimana diketahui, Parada Harahap dikenal sebagai raja delik pers dari Sumatera Utara. Ini berkaitan dengan tulisan-tulisan Parada yang banyak terkena pers delik akibat kecaman-kecamannya terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Seruan MH Manullang makin ‘provokatif’ dalam tulisan tentang konsesi “Pansoer Batu”. Pansoer Batu adalah areal tanah seluas 1.020 bau yang hendak disewakan (erfacht) kepada pengusaha perkebunan Eropa. Namun masyarakat Pansoer Batu menolak menyewakan tanah mereka dan tetap menanami tanah tersebut. Dalam demonstrasi petani yang diorganisir MH Manullang , 7 Juli 1919, terjadi insiden para demonstran perempuan ditempelengi oleh Asisten Residen Ypes.
MH Manullang kemudian mengklaim insiden itu sebagai penghinaan paling berat bagi ‘bangso Batak’ (bangsa Batak) yang menghormati martabat kaum perempuannya, dan karenanya tidak pernah memukul kaum itu di muka umum.
Tulisannya di Soeara Batak itu membuat ia terkena delik pers pada bulan Desember 1920. la dituduh menimbulkan bibit permusuhan di antara golongan bangsa Hindia; menyerang kehormatan seorang Openbare Ambtenaar (Asisten Residen Ypes) dan sengaja mencaci pemerintah Belanda.
Sebelum terkena pers delik pada surat kabar yang dipimpinnya, MH Manullang juga pernah menulis kasus Pansoer Batu pada surat kabar Poestaha, yang terbit di Padang Sidempuan. Pada Poestaha edisi 4 Juli 1919, MH Manullang menulis: “Teman-teman Batak! Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah (kapitalis bermata putih). Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya …sekarang kita mengetahui bahwa pemerintah hanyalah bersandiwara.” (Lance Castles: 2001).
Gugatannya terhadap insiden Pansoer Batu mengantarkannya ke depan pengadilan kolonial di Padang Sidempuan. Dengan tegar, ia membela dirinya sendiri di depan pengadilan dan menggugat penindasan Belanda kepada bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang ia kobarkan di depan pengadilan dan semangat anti kolonialisme membuat ia memprakarsai Persatuan Tapanuli (1921) dan Persatuan Sumatera (1922). Ini bertahun-tahun sebelum pelaksanaan Sumpah Pemuda tahun 1928.
Pengadilan kemudian memvonisnya hukuman penjara kolonial untuk 3 tahun di pembuangan Nusakambangan. Rakyat menyambutnya dengan protes dan demonstrasi di mana-mana. Mereka menulis surat kepada gubernur jenderal sampai Ratu Wilhelmina. Rapat-rapat besar diadakan di mana-mana, di alun-alun, di gereja-gereja. Reaksi itu memaksa Belanda mengurangi hukuman menjadi 15 bulan di penjara Cipinang, Jakarta.
Soeara Batak masih sempat terbit di bawah kepemimpinan Soetan Soemoeroeng, pengganti MH Manullang, yang juga dikenal memiliki sikap anti kolonialis Belanda. Sama halnya dengan MH Manullang, Soemoeroeng juga terkena delik pers, ketika Soeara Batak pada terbitan 2 dan 6 Juni mengupas soal konsesi Sioebanoeban dan Pansoer Batoe. Soemoerong kemudian disidang oleh Pengadilan Kerapatan Besar Tarutung pada tanggal 7 Februari 1924. Kemudian diputuskan bahwa Soemoeroeng dihukum 1,5 tahun penjara karena dinggap telah melanggar pasal 207 dan 145 KUHP Hindia Belanda, yaitu memberi rasa malu dan menerbitkan bibit kebencian antara rakyat dan pemerintah. Akibatnya Soeara Batak tidak terbit lagi.
Setelah keluar dari penjara pada tahun 1924, MH Manullang kemudian menerbitkan koran baru bernama Persamaan. Kemudian ketika pindah ke Sibolga Persamaan diubah namanya menjadi Pertjatoeran. Semangat anti kolonialisme MH Manullang tak pudar walau ia sempat mendekam selama setahun di penjara. Bersama teman-teman seperjuangan ia melaksanakan Kongres Persatuan Tapanuli, 17 Februari 1924. Kongres menyerukan Dalihan Na Tolu. Seluruh bangso Batak bersaudara. Semangat “dalihan na tolu” ini merupakan ikrar bersama untuk mengusir penjajah.
Organisasi HKB yang dipimpinnya kemudian berubah haluan kepada upaya ‘kemandirian’ gereja Batak setelah putusan-putusan HKB sering mendapat mosi dari para pendeta yang mendapatkan tekanan dari Belanda. Bahkan kemudian, pada usia 52 tahun, ia menjadi pendeta setelah lebih dulu mengikuti pendidikan kependetaan. Cita-citanya adalah mendirikan Gereja Batak Raya yang lepas dari kontrol dan dominasi orang Eropa pada zaman itu. Untuk itu, MH Manullang bersama rekan-rekannya, 1 Mei 1927, mendirikan Huria Christen Batak (HChB) sebagai gereja yang berdiri sendiri. HChB terus berkembang. Tahun 1950 berubah menjadi HKI (Huria Kristen Indonesia) yang berkantor pusat di Pematang Siantar.
Gerak perjuangan MH Manullang dalam usia senjanya masih berlanjut di zaman pendudukan militer Jepang dan masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, MH Manullang sempat dipenjara selama 1,5 tahun dengan tuduhan tidak mau bekerja sama. Dua tahun kemudian dalam usaha Jepang menarik simpati rakyat, MH Manullang dibebaskan. la diangkat sebagai Kepala Penerangan Tapanuli, sampai Proklamasi Kemerdekaan. Ia kemudian menjalani masa pensiun penuh dengan pangkat Bupati pada usia 70 tahun.
Pengabdian dan perjuangan MH Manullang dikukuhkan oleh Pemerintah RI pada tanggal 2 Oktober 1967 sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan. Hari-hari terakhirnya terus diabdikan dalam kegiatan gerejani.
Setelah menerima upacara perjamuan kudus di Rumah Sakit PGI Cikini tempat ia dirawat, MH Simanullang menghadap Allah di Surga, 20 April 1979. Meski berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, MH Manullang memilih dibaringkan di samping istrinya dan pusara ibunda dan bapaknya Singal Manullang, prajurit setia Sisingamangaraja XII di Huta Bangunan Peanajagar, Siulu Ompu, Silindung, Tarutung. Ia meninggalkan 5 orang putra, 4 orang putri dengan 105 orang cucu, 126 orang buyut dan 6 cicit.# TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Selasa, 07 Maret 2017

Panggilan Orang Batak (Partuturan Ni Halak Batak Toba)



Partuturan Ni Halak Batak
Created By: Manirutua Simanullang, ST. [TD16] 07 March 2017

Horas ma di hamu Amang/ Inang, Haha/ Anggi napinaribot, anggiat ma tiur jala uli parngoluonta si ganup ari. Jala dapotan jampalan na lomak hita disude dinamangula angka siulaonta. Amen. [Salam sejahtera kepada Bapak/ Ibu, Abang/ Adik dan semua saudara yang saya kasihi, semoga kehidupan kita semakin cerah dan indah setiap hari. Dan kita mendapat berkat yang berlimpah saat mengerjakan pekerjaan kita. Amin].

Tu angka naposo, ala hamu do na laho manorushon adat napinukka opputta sijolo-jolo tubu, jadi porlu do botoon muna ruhut-ruhut ni partuturan di hita halak Batak Toba. Asa dung tangkas taboto tarombotta, ingkon botoon do tong tutur sijouonta. Dison hupatorang hami saotik taringot goar ni angka partuturan di adat ta. [Kepada semua pemuda/i, karena kalianlah yang akan menjadi penerus dari adat yang sudah dibentuk oleh moyang kita, jadi sangat penting kalian ketahui bagaimana karakteristik panggilan dalam budaya Batak Toba. Dimana apabila sudah jelas silsilahnya, maka harus diketahui dengan apa kita memanggilnya. Disini sedikit kami jelaskan nama-nama panggilan di budaya kita].

On ma goar ni partuturan ni sahalak Ama-ama tu angka sisolhot na. Jala adong do sian partuturan on tong dos dohot partuturan ni ripe ta. [Ini adalah nama panggilan yang diucapkan seorang laki-laki dewasa dan sudah menikah kepada saudara-saudarinya. Dan ada beberapa panggilan yang sama antara dia dan istrinya]:

1. “Ompung” ni jouhon ma i tu:

  • Ompung Doli/ Boru ta mangulahi = sude ompung ni ompung ta [kakek/ nenek dari kakek/ nenek kita];
  • Ompung Doli/ Boru ta = sude ompung ta [kakek & nenek kita];
  • Pahompu ta = sude pahompu ta [semua cucu dari anak laki-laki atau anak perempuan];
  • Ondok ta = sude ondok-ondok ta [semua cucu dari cucu kita];
  • Ompung Doli/ Boru sian hula-hula ta = sude natua-tua/ natoras ni simatua ta [orangtua dari mertua kita].


2. “Amangtua” dohot ripena “Inangtua” ni jouhon ma i tu:

  • Amangtua/ Inangtua ta mangulahi = sude ompung ni among ta [kakek & nenek dari ayah kita];
  • Amangtua/ Inangtua ta = sude haha doli/ boru ni among ta [abang laki-laki & istri dari ayah kita];
  • Amangtua/ Inangtua pariban ni natua-tua ta = sude haha doli/ boru pariban ni among ta [abang & istri dari suami kakak ibu kita].


3. “Among” dohot ripena “Inong” ni jouhon ma i tu:

  • Amang/ Inang pangitubu ta = natua-tua ta [ayah & ibu kita];
  • Simatua Doli/ Boru = di dipiga-piga luat, lao manjou simutuana tong do didok among dohot inong [di beberapa tempat mertua juga dipanggil among & inong].


4. “Amanguda” dohot ripena “Inanguda” ni jouhon ma i tu:

  • Amanguda/ Inanguda ta = sude anggi doli/ boru ni among ta [adik laki-laki & istri dari ayah kita];
  • Amanguda/ Inanguda pariban ni natua-tua ta = sude anggi doli/ boru pariban ni among ta [adik & istri dari suami adik ibu kita].
  • Amanguda/ Inanguda pariban ta = sude amangboru/ namboru ni ripe ta [ipar & saudara perempuan dari mertua laki-laki kita].


5. “Angkang Doli” dohot ripena “Angkang Boru” ni jouhon ma i tu:

  • Haha Doli/ Boru ta mangulahi = sude ompung ni among & inong ta [kakek & nenek dari ayah kita];
  • Haha Doli/ Boru ta = sude haha doli/ boru na mardongan tubu [abang & istrinya dari semarga];
  • Haha Doli/ Boru pariban ta = sude haha doli/ boru na marpariban [abang & istri dari kakak istri kita].


6. “Anggi Doli” dohot ripena “Anggi Boru” ni jouhon ma i tu:

  • Anggi Doli/ Boru ta = sude anggi doli/ boru na mardongan tubu [adik & istrinya dari semarga]; alai molo manjou langsung hita tu ripe ni anggi doli ta, somal na “Inang”.
  • Anggi Doli/ Boru pariban ta = sude anggi doli/ boru na marpariban [adik & istri dari adik istri kita].


7. “Amang” ni jouhon ma  I tu:

  • Simatua ta = simatua doli [mertua laki-laki]; meskipun ada di satu wilayah tertentu untuk memanggil mertua laki-laki dengan “among”;
  • Anak ta = sude anak ta na satarap [anak laki-laki kita, anak laki-laki abang kita, anak laki-laki adik kita];
  • Hela ta = sude hela na satarap [semua menantu laki-laki];
  • Nini ta = sude anak ni pahompu ta [anak laki-laki dari cucu kita];
  • Ama-ama manang baoa na so taboto dope tarambo ta molo jumpang di sada inganan [Bapak-bapak atau laki-laki dewasa yang kita temui saat suatu acara atau pertemuan di satu kondisi kita belum saling mengenal dan belum mengetahui marganya].


8. "Inang” ni jouhon ma i tu:

  • Simatua ta = simatua boru [mertua perempuan]; meskipun ada di satu wilayah tertentu untuk memanggil mertua perempuan dengan “Inong”;
  • Anggi Boru ta = sude ripe ni anggi doli ta [istri dari adik laki-laki kita];
  • Inang Bao ta = sude ripe ni tunggane ta [istri dari saudara laki-laki istri kita].


9. “Ampara” ni jouhon ma i tu:

  • Marga parpadanan ta = umpama na Simanullang dohot Panjaitan, molo songon di toru ni umur niba marga Panjaitan i, boi ma jouon ampara [ampara doli];
  • Anggi Doli ta = panjouon tu anggi niba, panjouon na so resmi do nian on, alai asa gabe songon na jonok hian, dijouhon ma ampara tu toru ni tutur ta;
  • Anak ta = somal na amang do jouon anak ta, alai boi do asa gabe jonok dijouhon ma ampara [untuk membuat lebih akrab dan dekat, kita kadang kala bisa memanggil anak kita ampara];
  • Tu sude di toru ni tutur, asa laho pajonokhon sipata boi do jouon ampara [untuk membuat lebih akrab, kadang kala kita bisa panggil ampara kepada saudara yang tingkatannya dibawah kita, misalnya: adik, anak atau cucu].


10. “Amangboru” dohot ripena “Namboru” ni jouhon ma i tu:

  • Amangboru/ Namboru ta = sude lae dohot iboto ni among ta [suami dan saudara perempuan dari ayah kita, baik yang lebih sulung ataupun lebih bungsu dari ayah kita].


11. “Lae” dohot ripena “Ito” ni jouhon ma i tu:

  • Lae/ Iboto ta mangulahi = sude lae dohot iboto ni ompung ta [suami dan saudara perempuan dari kakek kita];
  • Lae/ Iboto ta = sude lae dohot iboto tubu ni among ta [suami dan saudara perempuan kita, baik dari ayah kita, adik ayah kita ataupun abang ayah kita].


12. “Boru” ni jouhon ma i tu:

  • Boru ta = sude boru na satarap tu boru ta [kepada semua putri dari kita, putri adik kita ataupun putri abang kita];
  • Nono ta = sude boru na satarap tu pahompu ni pahompu ta [kepada semua putri dari cucu cucu kita].


13. “Bere” ni jouhon ma i tu:

  • Bere Baoa/ Boru ta = sude pinompar ni iboto ta [semua putra/i dari saudara perempuan kita];
  • Ibebere ta = sude pinompar sian bere ta [semua cucu dari saudara perempuan kita].

14. “Tulang” dohot ripena “Nantulang” ni jouhon ma i tu:

  • Tulang/ Nantulang ta = sude iboto dohot ripe ni tulang ta [paman dan istrinya, yaitu saudara laki-laki ibu kita dan istrinya];
  • Paramaan ta [Tulang/ Nantulang Naposo] = sude anak ni tunggane ta [semua anak laki-laki dari ipar laki-laki kita, maupun semua anak laki-laki dari putra paman kita];
  • Bona Tulang ta = tulang ni among ta [paman dari ayah kita];
  • Bona Ni Ari ta = tulang ni ompung ta [paman dari kakek kita];
  • Tulang Rorobot ta = tulang ni inong ta [paman dari ibu kita].


15. “Tunggane” dohot ripena “Inangbao” ni jouhon ma i tu:

  • Lae/ Inangbao ta = iboto ni ripe ta dohot ripena [saudara laki-laki dari istri kita dan istrinya].


16. “Pariban” ni jouhon ma i tu:

  • Pariban = boru ni tulang ta [semua putri dari paman kita]. Saat kita masih single, kita bisa memilih salah satu dari putri paman-paman kita itu untuk dijadikan istri.
  • Angkang ni ripe ta = sude angkang ni ripe ta [semua kakak perempuan dari istri kita];
  • Anggi ni ripe ta = sude anggi ni ripe ta [semua adik perempuan dari istri kita].


Jala adong do tambahan partuturan sian ripeni Amanta I [ada tambahan panggilan yang berbeda antara kita dengan istri kita]:

17. “Amangbao” dohot ripena “Eda” di jouhon ma i tu:

  • Lae/ Iboto ta = sude lae dohot iboto ta [kalau istri kita memanggil suami dari saudara perempuan kita dengan amangbao, sedangkan istrinya yang mana itu saudara perempuan kita, maka istri kita akan memanggilnya eda].

18. “Amang” di jouhon ma i tu:

  • Among ta = natua-tua ta [tung pe songon na nidok diginjang, dipiga luat adong do manjou among tu simatua doli na]. panggilan istri kita kepada ayah kita, meskipun seperti yang disebutkan diatas, bahwa pada wilayah tertentu untuk memanggil ayah kita, istri kita memanggilnya among.
  • Amangtua/ Amanguda ta = sude haha doli dohot haha anggi ni among ta [semua abang dan adik dari ayah kita]. 
  •  Haha Doli ta = sude haha doli ta [semua abang kita].


Sumber Dari Berbagai Media [molo adong na hurang/ lobi, boi do ta padenggan muse]. Mauliate, horas.

Jumat, 03 Maret 2017

Pesta Bona Taon Tuan Dilimang Simanullang 2016

 

Video Pesta Bona Taon Punguan Tuan Dilimang Simanullang Jabodetabek 2016

Jumat, 27 Januari 2017

Botol Antik. Rhein Preussen - Clay Bottle

- For Sales -

Antique Bottle [Botol Antik]
#Rhein_Preussen_Clay_Bottle
Made In - Germany
Produced - 1800s
Materials - Clay

Stock Available - 2 pcs
Be Discovered - North Sumatera [Indonesia] Price - USD 300.-